Anonymous Ancestors


in

Jalan-jalan dengan anak-anak disini tidak pernah membosankan. Siang ini, Dewi dan Samantha berjelajah ke atas bukit untuk mengunjungi desa “Kayu Padi”, dipandu oleh petualang cilik kami yang berusia 12 tahun. Mereka mengendarai motor, menyusuri dan mendaki bukit bak pengendara motor trail profesional. Kami tentunya khawatir dengan keselamatan teman-teman kami ini, tapi disisi lain, dengan mengendarai motor sendiri, membantu mereka untuk bisa pergi ke sekolah. Karena disini tidak ada kendaraan umum, anak-anak berarti harus berjalan kaki melewati bukit setidaknya dengan jarak 3 kilometer.

Melalui proyek ini, kami belajar kalau “masa kecil” itu memiliki perspektif yang berbeda-beda, tergantung dari budaya sekitarnya. Dalam budaya di suatu tempat, masa kecil seorang anak dijejali dengan sekolah, kursus-kursus khusus setelah sekolah, dan PR yang menumpuk. Di budaya dan tempat lainnya, ada anak-anak yang setelah sekolah usai, mereka pulang ke rumah untuk membantu orang tuanya mengurus ladang ataupun menjaga warung. Di Kintamani, anak-anak bebas bermain di alam, seperti mendaki bukit, berenang di danau, ataupun bermain layang-layang. Walaupun secara perlahan, dengan adanya perkembangan teknologi, anak-anak kini banyak yang bermain permainan konsol, misalnya Grand Theft Auto.

Pelajaran yang bisa kami petik ketika bermain dengan anak-anak disini adalah kebahagiaan bisa didapatkan dari hal yang sangat sederhana. Mereka yang tinggal di daerah pedesaan secara kreatif memanfaatkan alam sebagai taman bermainnya. Tanpa adanya fasilitas-fasilitas yang umumnya dinikmati masyarakat daerah “maju”, anak-anak disini menemukan jalannya sendiri untuk tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan alam.