Chapter 1

Disabilitas di Indonesia

Kenapa kita perlu merangkul penyandang disabilitas?

Kamu pasti pernah mendengar kata disabilitas.  Kebanyakan orang berpikir disabilitas hanya mengacu pada keadaan yang membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Tapi sebenarnya lebih rumit dari itu.

Disabilitas juga meliputi interaksi dirinya dengan lingkungan. Batasan sebetulnya seringkali justru datang dari lingkungannya.

Mereka kerap mendapat perlakuan tak adil dari lingkungannya (Model Sosial Disabilitas) . Akibatnya, mereka sulit untuk beraktivitas, mengekspresikan diri, terlibat dalam kegiatan sosial, dan banyak lagi. 

People are disabled by barriers in society, not by their impairment or difference. Barriers can be physical, like buildings not having accessible toilets. Or they can be caused by people's attitudes to difference, like assuming disabled people can't do certain things.

Kamu mungkin menyadari tidak semua bangunan umum menyediakan ramp, akses yang cukup besar untuk kursi roda, atau handrailing yang mumpuni di toilet. Selain itu, seberapa sering kamu menemukan petunjuk dengan huruf Braille di tempat umum? Inilah segelintir contoh batasan fisik yang ada. Batasan non-fisik pun tak kalah memprihatinkan. 

Individu yang “berbeda” kerap mendapatkan stigma negatif, diskriminasi, dipandang rendah, dan tidak mendapatkan hak yang sama dengan orang lain. 

Lantas kenapa kita perlu merangkul penyandang disabilitas?

  • Pertama, karena hal ini diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2016.
  • Kedua, karena hak asasi setiap manusia untuk mendapat perlindungan dari segala diskriminasi.

Bayangkan apa yang bisa mereka raih jika terbebas dari segala hambatan yang diciptakan lingkungan. Tentunya pencapaian mereka tak hanya menguntungkan para penyandang  disabilitas, tapi kita semua.

Statistik Penyandang Disabilitas di Indonesia

Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tidaklah sedikit.

Berdasarkan penelitian Australia Indonesia Partnership for Economic Governance pada 2017:

4,3% dari populasi Indonesia, atau 10.150.719 orang, menyandang disabilitas.

Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Tweet

61% di antaranya punya keterbatasan mobilitas fisik (gangguan pada kaki, penglihatan, dan pendengaran).

Penyebabnya disabilitas bermacam-macam, sebagian besar karena penyakit (60%), lalu bawaan sejak lahir (17%), dan kecelakaan (16%).
Sayangnya, masih ada juga yang disebabkan kekurangan gizi (1,8%).

Klasifikasi Disabilitas di Indonesia

Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Berdasarkan undang-undang ini, penyandang disabilitas terbagi dalam 4 kategori:

  • Penyandang Disabilitas Fisik – terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
  • Penyandang Disabilitas Intelektual – terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di
    bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
  • Penyandang Disabilitas Mental – terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
    Psikososial seperti skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, dan gangguan kepribadian.
    Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial seperti autis
    dan hiperaktif.
  • Penyandang Disabilitas Sensorik – terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara
    lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara

Disabilitas tak melulu bersifat permanen. Semua orang mungkin pernah mengalaminya,

Sifat disabilitas bisa dibagi menjadi 3 kategori, yaitu permanen, sementara, dan situasional

"Disabilitas anggapannya hanya disabilitas fisik. Sebetulnya orang dengar pun termasuk disabilitas kalau tidak bisa menggunakan bahasa isyarat. Atau misal lagi di tempat yang ramai, enggak bisa dengar orang ngomong apa. Nah, tapi kenapa kok disabilitas hanya dianggap fisik saja?”

Ade Putra Wirawan, Ketua Bali Deaf Community Tweet

Sayangnya, konotasi disabilitas sering kali negatif di Indonesia. 

Hal ini dipengaruhi oleh pandangan medis modern yang menganggap penyandang disabilitas adalah “orang sakit” dan tragedi yang terjadi pada tubuh seseorang.

Disabilitas dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan karena tak sesuai dengan “standar” tubuh yang dimiliki orang banyak. Penyandang disabilitas dianggap bukan manusia ideal dan menjadi objek kasihan (charity) yang harus ditolong. Pandangan ini menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek “pertolongan” sekaligus sarana masyarakat umum untuk berbuat baik.

Apa beda Tuli, Tuna Rungu, dan Tuna Wicara?

Kami beruntung mendapat kesempatan berdiskusi langsung dengan Ade Putra Wirawan, Ketua Bali Deaf Community, mengenai perbedaan Tuli, Tuna Rungu dan Tuna Wicara.

Tuli
Istilah Tuli bukan hanya menunjukkan keterbatasan tak bisa mendengar atau bicara dengan jelas, tapi menjadi penyebutan satu subkultur atau kelompok minoritas linguistik pengguna bahasa isyarat.

Tuna Rungu dan Tuna Wicara
Inilah istilah medis untuk menunjukkan keterbatasan fungsi pendengaran dan bicara yang disebabkan karena terkena suatu risiko atau bawaan sejak lahir.

Disabilitas atau Difabel?

Kedua istilah ini sering kita dengar. Lalu apa bedanya?

Disabilitas berasal dari bahasa Inggris disability. Kata ini diawali dengan dis- yang berarti “selain”, “negasi” atau “sebaliknya” . Jadi disability bermakna tidak mampu.

Hal ini memicu pro dan kontra terhadap penyebutan disabilitas. Maka muncullah istilah difabel yang juga merupakan hasil adaptasi bahasa Inggris dari frasa differently-abled, bukan different ability seperti anggapan umum yang merujuk pada orang-orang dengan kemampuan berbeda.

Jika different ability menekankan pada kemampuan berbeda, differently-abled lebih mengacu pada cara melakukan aktivitas. Rekan-rekan difabel masih bisa melakukan kegiatan seperti orang lain, hanya caranya saja yang berbeda.

Tapi kami memilih untuk menggunakan istilah disabilitas, karena kami lebih mengacu kepada perkembangan arti disabilitas. Yaitu model sosial disabilitas, bahwa realitanya kalau disabel bukan perorangan tapi layaknya fitur HP kita, masyarakat kita yang menekan tombol Disabled.

Pada dasarnya, kedua istilah ini bertujuan untuk mengganti istilah “penyandang cacat” yang berkonotasi negatif. Sehingga kami memilih memakai kedua istilah tersebut dalam tulisan-tulisan kami.

Dalam tulisan selanjutnya kami akan membahas etika atau bagaimana cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Artikel ini adalah bagian dari : Toolkit Inklusivitas: Kolaborasi Seni dan Kreatif . Keseluruhan toolkit ini dapat diunduh dalam bentuk PDF.

Toolkit ini adalah salah satu hasil proyek kami Gerakan Kreabilitas, sebuah program dari British Council: Developing Inclusive Creative Economy (DICE)

Referensi: