Dalam proyek kolaborasi tahun ini Art et al. X Ketemu Project ,mempertemukan peserta dari Inggris-Australia x Indonesia dengan tujuan mengembangkan praktik seni dan meningkatkan pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyandang disabilitas atau disabilitas sehingga mendorong peningkatan inklusivitas dalam seni. Para praktisi seni dalam kerjasama ini meliputi seniman, kurator lepas, dan kolektor (museum dan institusi swasta) dari tiga negara dimana mereka akan saling melengkapi dan bertukar pikiran melalui program-program berikut:

  • Seniman Peer to Peer 

    Kolaborasi antara seniman difabel dan non difabel yang akan didorong untuk menciptakan sebuah karya seni secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

  • Curatorial Collections (Koleksi Kurator)

    Meningkatkan pemahaman bagi seniman penyandang disabilitas tentang proses koleksi yang dilakukan oleh Museum atau Lembaga (koleksi seni rupa).

  • Curatorial Mentorship (Bimbingan Kurator)

    Peserta (kurator dan seniman difabel) akan berbagi pengalaman masing-masing sehingga terjadi pertukaran pengetahuan tentang proses kuratorial dan pengalaman berkesenian.

Hasil proyek ini juga diharapkan dapat memperkaya Ketemu Project Art and Creative Collaboration Toolkit. Kami akan terus membagikan program kami di media sosial dan web, Ketemu Project dan Art et al. Pelajari lebih lanjut tentang Program!

Curatorial Mentorship
Matt Burrows X Lala Nurlala
Chris Angell, Vase With Skulls, Acrylic and pen, 59x43cm,Apr22
Peer to Peer
Chris Angell X Budi Agung Kuswara
Curatorial Collections
Butong X The Roberts Institute of Art
Peer to Peer
Karin Josephine X Christian Newby
Toylin_cherrybloosomgirl.white
Curatorial Mentorship
Toyin X Nilu
27
Curating Collections
Sally Hirst X Mia Tjahjadi
Peer to Peer
Winda Karunia X Mawarini
Peer to Peer
Paul X Mutia Bunga
M

Winda Karunadhita

 

Winda lumpuh karena kelainan genetik, distrofi otot, dan skoliosis. Winda telah menggambar sejak remaja dan belajar melukis secara otodidak. Dia telah menampilkan karya-karyanya di banyak pameran, baik pameran bersama maupun tunggal. Sebagian hasil penjualan lukisannya selalu disisihkan untuk membantu penyandang disabilitas lainnya yang kurang mampu.

Mawarini

 

Mawarini adalah seniman visual, desainer, dan animator kelahiran Indonesia yang tinggal di Adelaide. Dia telah memamerkan karya secara lokal dan internasional, termasuk di Indonesia, Malaysia, Istanbul Triennial dan Inggris. Prakteknya sering menggabungkan teknik pemotongan kertas, ilustrasi dan media digital kontemporer untuk menghasilkan instalasi naratif dan animasi. Mawarini juga bekerja secara kolaboratif dengan seniman dari berbagai disiplin ilmu dan telah merancang serta mengkurasi karya untuk seni pertunjukan, festival seni, dan produksi teater.

Dengarkan



Karya Seni Sebelumnya

 

Pertemuan pertama secara daring melibatkan masing-masing seniman untuk saling bercerita tentang praktik seni, menunjukan beberapa karya seni, dan berbagi cerita tentang tempat tinggal mereka dan perbedaan budaya mereka. Setelah pertemuan tersebut, mereka memikirkan untuk tema kolaborasi dan bagaimana cara mereka ingin bekerjasama selama tiga bulan. Mereka berdua ingin memperkaya pengalaman mereka dengan berbagi perbedaan budaya sebagai perupa. Di bawah ini, kami tampilkan beberapa karya dari masing-masing seniman.

Tiga gambar pertama dari Winda. Winda tertarik pada seni dekoratif dan hal itu terlihat dari lukisan-lukisannya, dengan tingkat kerincian gambar yang ia lukiskan. Tema sebagian besar karya Winda adalah tentang kehidupan dan budaya orang Bali. Misalnya, pasar tradisional, panen padi, tarian. Dia juga suka melukis burung dan bunga.

Gambar panjang adalah karya dari Mawarini, berjudul “Sewing” (“Menjahit”), yang dibuat dengan grafit dan pastel pada kertas berukuran 100x16cm. Karyanya adalah tentang menangkap keindahan dan puisi kehidupan sehari-hari yang dirupakan melalui teknik menggambar, dan melalui cahaya serta bayangan potongan kertas. Dia juga suka menambahkan keanehan pada karya seninya, di mana banyak di antaranya dibuat bergerak melalui animasi.

Dengarkan



Berbagi Karya dan Berkolaborasi Pada Karya Satu Sama Lain

 

Winda dan Mawarini memutuskan untuk bertukar gambar visual, dan masing-masisng saling menanggapi dengan cara yang mereka pilih dalam seputar tema ‘persahabatan’. Setiap minggu, di samping mengobrol setiap hari di aplikasi WhatsApp, mereka saling mengirim karya seni di aplikasi pesan tersebut, dan beberapa melalui surel untuk ditanggapi dengan menggambar secara digital. Mereka ingin mengeksplorasi apa arti persahabatan bagi mereka masing-masing. Sepanjang jalan, terbentuk perjalinan keakraban, dan menyadari bahwa mereka menyukai hal-hal yang serupa, terutama budaya Jepang, desain bunga, dan kucing! Karya yang dihasilkan sangat indah dan bervariasi, antara lain lukisan, gambar, papercut, karya digital, bahkan membuat tas reseleting cetak dengan desain kolaboratif yang dibuat secara digital.

Mereka mulai dengan dialog antara dua teman berbagi cerita, dan berbagi apa yang mereka suka dan tidak suka, dan apa arti persahabatan satu sama lain. Mereka mengajukan pertanyaan satu sama lain untuk mempelajari lebih lanjut, termasuk hal-hal seperti: apakah Anda lebih suka matahari terbit atau terbenam? Di mana tempat spesialmu? Apa makanan dan minuman favoritmu? Lebih suka gunung atau pantai? Warna apa yang kamu suka?

Di bawah ini adalah beberapa contoh dengan jawaban mereka masing-masing.
– (W mewakili Winda dan M mewakili Mawarini).

Dengarkan



Beberapa pertanyaan yang mereka sampaikan kepada satu sama lainnya – tertulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Mereka juga saling kirim paket gambar lewat pos untuk saling menanggapi dengan sebebasnya gambar-gambar yang dikirimkan masing-masing. Di atas adalah foto dari salah satu paket gambar yang saling saling dikirimkan.
Foto tangkapan layer dari salah satu pertemuan daring yang dilakukan. 
Dalam urutan jam dari atas kiri: Mawarini, Jennifer, Sidhi, dan Winda.

Gambar Karya Kolaborasi #1
Dua karya di atas adalah beberapa karya pertama yang diciptakan secara kolaboratif. Dalam kedua kasus tersebut, Winda mengirimkan gambar yang dibuat dengan pena tinta kepada Mawarini, yang kemudian memindainya dan secara digital menambahkan unsur lain pada gambar tersebut berdasarkan hal-hal yang mereka diskusikan tentang hal yang mereka sukai atau senang lakukan. Gambar kiri berjudul ‘Persahabatan’, dan gambar kanan berjudul ‘Jendela’.

Dengarkan



Gambar Karya Kolaborasi #2

Gambar di atas menunjukkan bagaimana salah satu seniman menggambar, dan kemudian apa yang terjadi ketika karya seni itu ditanggapi seniman satunya, di mana masing-masing kekhasannya. Dalam kasus kumpulan gambar terakhir yang terlihat di atas… karya seni di kiri digambar bersama secara langsung saat mereka mendiskusikan apa yang dilakukan teman saat mereka bersama mengunjungi sebuah kedai kopi. Gambar kanan dikomposisikan secara digital oleh Mawarini, mengambil elemen dari gambar aslinya dan menjadikannya sebuah adegan yang utuh.

Dengarkan



Video ini menampilkan pertemuan langsung pertama kedua perupa di rumah Winda. Tidak ada pembicaraan pada video ini yang berdurasi satu menit.

Gambar Karya Kolaborasi #3
Atas: Karya di sebelah kiri atas dengan latar belakang biru berjudul ‘Best Friend’. Winda membuat lukisan yang menampilkan dirinya dan Mawarini. “Saya menggambarkan Mawarini membawa ransel besar karena dia akan segera kembali ke Australia. Saya ingin menekankan bahwa dalam persahabatan, meskipun kita berjauhan, kita tidak akan pernah melupakan satu sama lain.” Mawarini menambahkan pola itu ke ransel. Di sebelah kanan, kedua perupa tersebut kembali ditampilkan pada karya. Mawarini menambahkan corak modern (dengan bermotif batik) sebagai latar belakang karena mereka sama-sama menyukai batik. Bunga mawar kuning merupakan sebagai simbol persahabatan, di mana hal tersebut dimunculkan juga pada karya ini seperti pada karya di sebelah kiri.

Gambar-gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana gambar pada tas kecil yang dicetak secara digital diciptakan. Winda mengirimkan beberapa gambar atas hal-hal yang disukainya kepada Mawarini, yang kemudian memindainya gambar-gambar itu dan secara digital menambahkan beberapa gambarnya sendiri. Mawarini berbagi beberapa versi berbeda tentang bagaimana bermacam pola itu dapat digabungkan, sebelum akhirnya mereka memilih gambar yang tengah di bawah ini. Desainnya kemudian dikirim dan dibuat menjadi kantong, yang sekarang dimiliki masing-masing perupa.

Dengarkan



Gambar Karya Kolaborasi #4
Di bawah ini, Anda dapat melihat tiga versi (kucing terinspirasi dari) kucing Maneki Neko Jepang karena mereka sama-sama menyukai macam kucing (jimat keberuntungan) tersebut. Mawarini menggambar kucing, lalu Winda menambahkan desain bunga dengan teknik menggosok hilang bagian warna gambar pada tubuh kucing. Mawarini kemudian menggambar pola ubin satu per satu di latar belakang dan juga tangan, lalu dia mensadurnya secara digital untuk desain akhir. Pada gambar baris kedua yang dibuat Winda, terdapat visual di mana ada Mawarini yanbg sedang mendorong Winda di kursi rodanya. Sedangkan gambar kedua dan ketiga di barisan sama, menampilkan gambar (kedua) burung dan pedesaan yang dibuat Mawarini, serta detail bunga karya papercut hasil Mawarini. Gambar asli tersebut kemudian dipotong dan diimbuhkan pada karya seni akhir ini (gambar ketiga).

Dengarkan



Gambar Karya Kolaborasi #5
Bersama-sama mereka juga membuat karya di atas kertas yang menampilkan hewan dari kedua negara, seperti koala dan kanguru dari Australia dan juga burung jalak Bali. Sentuhan papercut dari Mawarini ditambahkan menjadi bagian dari karya yang dibuat bersama. Pada gambar pertama, kangguru terdekat adalah buatan Mawarini, dengan kangguru yang lebih besar dengan dua orang di dalam kantong dibuat Winda. Yang kedua, Winda menggambar semua binatang dan kedua seniman menggambar daun/pohon. Di bawah ini, Mawarini membuat karya papercut seorang gadis yang kemudian dikirim ke Winda, yang di mana pada papercut itu ditanggapi Winda dengan gambar menggunakan pensil yang gambarnya menunjukkan interaksi mereka berdua. Anda juga bisa melihat bagaimana gambar dua orang dengan syal yang dimulai dengan sketsa pensil, kemudian dibuat menjadi potongan kertas dan akhirnya menjadi ilustrasi digital. Seperti halnya semua karya, kolaborasi adalah kunci untuk mewujudkannya.

Tatap muka langsung di Indonesia

Winda dan Mawarini sama-sama berada di negara Indonesia pada waktu yang bersamaan. Hal ini terjadi karena kebetulan Mawarini sedang kembali ke Indonesia dan singgah lewat Bali. Ini merupakan kali pertama salah satu kolaborasi Peer to Peer kami dapat bertemu langsung dua kali dan saat itu dilakukan sdi rumah Winda. Untuk kunjungan kedua, Sidhi dari Ketemu Project juga dapat hadir dan mengambil foto-foto ini dan membuat video singkat di bawah ini, di mana para perupa berbagi lebih banyak tentang kolaborasi dan apa yang sedang mereka kerjakan. Kedua perupa menyampaikan bahwa hal itu membuat kolaborasi mereka semakin kuat dengan bertemu langsung, mendorong mereka untuk melakukan lebih banyak melakukan pertemuan langsung untuk kolaborasi di masa mendatang – sesuatu yang pasti perlu kami catatkan!

Dengarkan



Gambar Karya Kolaborasi #6
Dari foto-foto di atas adalah ketika mereka bertemu secara langsung. Anda dapat melihat awal dari karya seni di bawah ini dan bagaimana hasil akhirnya. Winda menggambar anjing, dan Mawarini melukisnya dengan akrilik. Anjing itu kemudian dipotong, dan semua elemen lainnya ditambahkan bersama-sama ke bagian karya untuk menciptakan unsur-unsur lain dan latar belakang di karya tersebut.

Video pendek ini dibuat setelah pertemuan tatap muka kedua yang direkam oleh Sidhi dari Ketemu Project. Ada pembicaraan (dengan teks terjemahan) dalam video dan durasinya 3 menit.

Gambar Karya Kolaborasi #7
Kumpulan gambar di bawah ini adalah karya seni terakhir yang dibuat bersama. Anda dapat melihat elemen berbeda yang dibuat oleh kedua seniman, yang dipotong dengan pisau, dan digabungkan secara digital untuk membuat dua kartu remi yang berbeda. Karya terakhir ini berjudul ‘Kartu Persahabatan’.

Akhir dari Program - Wawancara Seniman

Listen



Salah satu dari mitra kami Art et al. , Jennifer Gilbert mengobrol dengan Winda dan Mawarini di akhir program untuk mendapatkan beberapa masukan tentang bagaimana menurut mereka program ini berlangsung, dan apa yang mereka pelajari. Selama proses tersebut, para perupa mengobrol satu sama lain setiap hari melalui WhatsApp, di mana sifat yang lebih pribadi terjadi pada sebagian besar kolaborasi Peer to Peer lainnya dari Art et al. Hal tersebut lah yang membuat wawancara ini terasa lebih berwawasan.

Jennifer: Secara umum, bagaimana kolaborasi ini kalian rasakan?

Winda: Program ini bagus untuk saya. Menyenangkan dan memungkinkan saya untuk mengeksplorasi ide kreatif saya dengan bebas. Saya beruntung bisa bekerja dan bertemu langsung dengan rekan kolaborasi saya.

“Kami menemukan sebuah persahabatan melalui kolaborasi ini.” – Mawarini

Jennifer: Apakah ada hal yang mengejutkan selama kolaborasi ini?

Winda: Ada! Mawarini memberi saya beberapa masukan ubntuk membuat sketsa. Ini membawa saya kembali ke saat saya memulai perjalanan saya 8 tahun yang lalu karena saya kebanyakan mengerjakan media kanvas beberapa tahun terakhir ini. Dia menunjukkan kepada saya beberapa potongan kertas yang sangat saya sukai juga, sayangnya sulit bagi saya untuk membuatnya sendiri.

Mawarini: Beberapa karya seni Winda yang menanggapi gambar saya sangat tidak terduga, dan kami bersenang-senang.

Jennifer: Apa yang Anda harapkan para pemerhati seni dapatkan dengan melihat karya Anda?

Mawarini: Semoga mereka bisa melihat persahabatan kita melalui karya seni kami, terlepas dari latar belakang budaya kami berdua. Kami tertawa, berbagi, mendapatkan inspirasi, berkreasi, dan menikmati perjalanan seni bersama.

“Saya ingin menunjukkan tentang persahabatan kita dan menunjukkan bahwa segalanya menjadi lebih mudah dan indah ketika kita memiliki teman baik. Sebagai seorang anak, saya tidak memiliki banyak teman dan saya takut bersosialisasi, jadi itu adalah saat yang tidak menyenangkan dalam hidup saya. Sebagai orang dewasa, saya mencoba untuk lebih terbuka dan bersosialisasi. Ternyata memiliki banyak teman jauh membuat saya lebih bahagia.” – Winda

Jennifer: Untuk orang lain yang berpotensi melakukan kolaborasi Peer to Peer di masa mendatang, apa saran Anda untuk mereka?

Winda: Banyak berkomunikasi dengan teman-teman kolaborasi Anda, dan jangan ragu untuk mengemukakan ide dan mendiskusikannya bersama. Jangan malu untuk bertanya jika ada yang masih belum dipahami, karena mungkin pengetahuan satu sama lain berbeda, jadi ada hal baru yang mungkin bisa Anda pelajari.

Mawarini: Nikmati prosesnya, dan bekerjalah dengan alurnya. Kolaborasi itu menyenangkan dan menginspirasi.

Jennifer: Ada hal lain yang ingin ditambahkan?

Winda: Terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk menjadi bagian dari program ini. Saya sangat senang bisa berpartisipasi dalam program ini dan juga mendapatkan teman baru dalam hidup saya.”

Tangkapan layar pertemuan daring yang di atas dibuat gambar sketsa oleh Mawarini!



Kolaborasi ini merupakan bagian dari program Art et al. X Ketemu Project. Kolaborasi khusus ini didanai oleh Dewan Seni Australia.

Hak Cipta Gambar: Winda Karunadhita, Mawarini, Ketemu Project dan Art et al.

Mengkurasi

Koleksi.

 
 
 
 
 

Butong X
The Roberts Institute of Art

Dengarkan



Program Mengkurasi Koleksi mendampingi seniman disabilitas untuk mengkurasi sebuah proyek dengan karya seni dari koleksi internasional yang sudah mapan.

 

Pada Kurasi Koleksi pertama kami sebagai bagian dari program Art et al. X Ketemu Project, sebuah kolaborasi antara Butong (Sukri Budi Dharma) dan Roberts Institute of Art. Butong adalah perupa dan aktivis disabilitas Indonesia yang karyanya berakar pada advokasi akses bagi penyandang disabilitas dalam praktik kesenian. Roberts Institute of Art – RIA adalah organisasi seni kontemporer nirlaba, yang bagian dari misinya adalah meneliti dan memberikan akses ke Koleksi David dan Indrė Roberts.

Selama beberapa bulan, Butong bekerjasama dengan Yates Norton (perwakilan dari RIA) untuk mengeksplorasi dan menelisik berbagai karya dari Koleksi David dan Indrė Roberts. Dengan pertemuan yang diadakan secara virtual di Zoom dan dengan percakapan yang diterjemahkan langsung oleh Sidhi Vhisatya (perwakilan dari Ketemu Project), diskusi ini memiliki tantangan yang bisa saja menghambat komunikasi yang efektif. Namun, dengan pengamatan Butong yang bijaksana dan penuh kehati-hatian pada karya-karya seniman, termasuk Mariam Cahn dan Marilyn Minter, dibantu dengan pengetahuan Yates tentang koleksi tersebut, kolaborasi ini berhasil memunculkan seleksi karya dan dialog kurasi yang menarik.

#BehindInterest.

kutipan #BehindInterest oleh Butong  dari e-catalogue

Dalam perjalanan ini, saya juga menciptakan ruang untuk merefleksikan dan mengenali bagaimana konsepsi pribadi saya tentang diri mempengaruhi cara saya menghargai sebuah karya seni. Saya mempertimbangkan bagaimana dialog berulang antara diri saya yang ‘ideal’ dan ‘nyata’ mempengaruhi ekspektasi dan minat tertentu yang memandu proses saya dalam melihat atau menafsirkan karya seni tertentu. Saya bertanya, bagaimana sebuah karya seni beresonansi dengan nilai-nilai yang saya yakini? Apakah itu membuat saya merasa dilihat? Atau sebaliknya, apakah itu membuat saya merasa tidak nyaman? Saya menawarkan narasi pribadi ini selama pertemuan kami dengan Yates untuk memahami keterkaitan antara latar belakang saya dan cara saya membangun keterhubungan dengan karya seni yang saya pilih.

 

#BehindInterest

 

Di bawah ini adalah dua contoh karya yang dipilih Butong dari Koleksi David dan Indrė Roberts untuk menyusun proyeknya, #BehindInterest bekerja sama dengan Roberts Institute of Art. Karya seni ini mewakili masing-masing dari dua konsep proyek digitalnya: Tubuh, Sosok dan Cerita serta Objek Material Mewakili Manusia. Ide-idenya dan karya seni pilihan lengkapnya dapat dilihat di atas – dapat dilihat melalui katalog ISSUU, atau tersedia sebagai PDF yang dapat diunduh dan diperbesar atau diperkecil untuk anda.

 


Body, Figure and Narrative

Miriam Cahn, Familie (2011)
Oil on canvas, 110 × 130 cm Courtesy the artist and Galerie Jocelyn Wolff Courtesy the David and Indrė Roberts Collection Photo by François Doury
© The Artist

Material Objects Representing Humans

Jo Broughton, Balloon Set (2006)
C-type print mounted on aluminium, 110 x 140 cm
Courtesy the David and Indrė Roberts Collection
© The Artist

“Kolaborasi ini saya ambil sebagai kesempatan untuk mengamati bagaimana seniman internasional menelaah tema-tema yang mungkin dianggap tabu atau terlalu subversif jika ditampilkan di Indonesia – tempat saya dibesarkan sebagai pribadi dan sebagai seniman. Selama kolaborasi ini, saya diperkenalkan dan diperkenalkan kembali pada beragam isu yang dibahas dalam karya-karya di The David dan Indrė Roberts Collection.”

– Butong

“Setiap kurasi membuka ruang untuk bercerita dan melihat karya seni dan dunia melalui lensa baru. Ketika kami diundang untuk berpartisipasi dalam program Kurasi Koleksi Art et al., kami tahu bahwa kesempatan ini akan membuka kemungkinan bagi kami untuk menemukan cara berbeda dalam melihat koleksi David dan Indrė Roberts, sambil juga mengeksplorasi bagaimana hal itu dapat menginspirasi karya dan praktik seorang kurator tamu.”

 

-Yates Norton, RIA Curator

Dengarkan


Budaya pop meresap dalam kehidupan kita dan, baik itu melalui saluran media tradisional atau baru, bahkan budaya yang paling beragam pun dapat dengan mudah berinteraksi satu sama lain, berbagi dan bertukar pengaruh budaya dari seluruh dunia.

 

Ketika sebagai penggemar dengan minat tertentu terhubung bersama ke dalam fandom (kepenggemaran) yang berbeda dan memutuskan untuk membuat kreasi tersendiri berdasarkan budaya pop yang mereka konsumsi, di mana narasi baru muncul berdasarkan banyak aspek latar belakang mereka, dan munculnya percakapan bolak-balik dengan budaya pop.

 

Dalam pameran ini, sekelompok seniman internasional yang beragam mengeksplorasi hal tersebut melalui berbagai cara. Secara masing-masing, mereka mungkin merefleksikan barometer budaya pop, fandom, dan pengaruh sendiri, atau dari orang lain, atau juga mengapropriasi dan mengubah lambang budaya pop untuk merefleksikan kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.

 

Baik menggunakan kartun, anime, musik pop atau game, atau terpapar dari ketertarikan terhadap dunia gulat wanita, binaraga & pahlawan super, secara bersama-sama mereka masing-masing membawakan pengaruh, minat, dan ide mereka sendiri dengan entitas budaya yang populer secara global.

 

FANDOMINIUM adalah puncak pertama dari Art et al. X Ketemu Curatorial Mentorships, sebuah prakarsa yang didanai oleh British Council dan Australian Council for the Arts.

7
LARRY ACHIAMPONG & DAVID BLAND
MAYA BEN DAVID
JCO_Billie
JACKIE COUSINS OLIVA
El+Morro+Simpson_PRINT+copy
JORGE GUTIERREZ
1
GRAHAM DOLPHIN
2
FERANSIS
web fondaminium
LALA NURLALA
6
BETH EMILY RICHARDS
5
KARIM SAAD

DICE DIGITAL R&D adalah sebuah program kolaborasi digital yang diselenggarakan oleh Ketemu Project bersama dengan The Arts Development Company (TADC). Proyek ini adalah bagian program dari DICE Digital R&D yang didanai oleh British Council’s Developing Inclusive and Creative Economies (DICE).

Program ini menghubungkan seniman penyandang disabilitas di Indonesia, membantu mereka untuk berjejaring dengan materi lainnya, mengeksplorasi praktik mereka, dan berkontribusi pada komunitas online. Kami mengadakan pertemuan online reguler menggunakan Zoom dan menemukan metode digital tambahan untuk terhubung, menciptakan ruang yang ramah dan bersahabat di mana ada rasa saling menghormati satu sama lain.

DICE Digital R&D adalah inisiatif baru yang berupaya menyatukan organisasi yang berbasis di berbagai negara untuk berkolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan tujuan keseluruhan DICE. Pendekatan tersebut, dengan fokus kuat pada kolaborasi digital, bersifat eksperimental menanggapi pembatasan Covid-19 saat ini. Dengan demikian, ada banyak hal untuk direnungkan dan dipelajari. 

 

Pada selama program, kami akan terhubung dengan kelompok paralel seniman penyandang disabilitas yang bekerja di Indonesia yang dipandu oleh tim Ketemu. Komunitas atau partisipan bertemu dalam tujuh sesi yang difasilitasi untuk berbagi dan belajar dari pengalaman dan keahlian mereka. Bersama-sama, mereka mengeksplorasi bagaimana kami mendorong nilai-nilai seperti inklusi, koneksi, eksperimen, dan desain bersama di lingkungan online.

 

Pengalaman ini membantu kami membangun keahlian untuk kolaborasi dan pertemuan digital, dan menjelajahi seperti apa hubungan budaya internasional secara online.

 

SEJIWA(Seni untuk kesejahteraan jiwa) adalah upaya Ketemu project memfasilitasi teman-teman komunitas untuk tetap dapat aktif berkreasi dirumah dengan dukungan materials dan aktivitas seni untuk kesejahteraan jiwa (Art for wellbeing).

Proyek ini merupakan respon kami dalam melihat dampak pandemi COVID-19 kepada teman-teman komunitas kesehatan jiwa. Banyak teman-teman komunitas yang harus mengurangi intensitas akvititasnya di luar dan lebih banyak berdiam diri di rumah. Pembatasan ini ternyata memengaruhi kondisi mental mereka, sampai banyak dari mereka yang sering kambuh.

Kami menyiapkan paket alat menggambar yang dapat menjadi penunjang untuk sahabat komunitas tetap berada dirumah dan mengasah kemampuan kreatifnya, juga melatih fokus kepada hal-hal positif melalui aktivitas menggambar.

Kedepannya kami ingin dapat membantu lebih banyak komunitas lagi di Indonesia, dan siapa pun dapat ikut berkontribusi. Kalian bisa memilih Art Materials for Wellbeing Kit di halaman online shop kami dan membelinya sesuai dengan jumlah penerima manfaat yang ingin kalian dukung. Lalu kit tersebut akan kami berikan kepada penerima manfaat dan kami juga akan mengabari kalian setelah kit diterima. Cek terus sosial media kami ya untuk update selanjutnya!

Apa saja yang ada dalam paket?
Buku gambar A4, daftar aktivitas kreatif, lembar mewarnai, pensil warna watercolor & rautan pensil.

Kolaborator
Dalam project ini, kami bekerjasama dengan Lorku, salah satu Creative Enterprise yang merupakan hasil inkubasi Gerakan Kreabilitas. Mereka membuatkan serangkaian daftar aktivitas ‘art for wellbeing’ yang bisa dijadikan inspirasi menggambar oleh teman-teman komunitas.
Selain itu kami juga didukung oleh Staedtler Denpasar dalam menyediakan buku gambar.

Distribusi pertama
Untuk distribusi pertama, kami memberikan kit ini kepada komunitas Skizofrenia Denpasar (Rumah Berdaya), komunitas Bipolar Care Indonesia di Jakarta dan Posyandu Waluyo Jiwo di Blitar – Jawa Timur.

Kami sadar bahwa kalian semua tuh kreatif dan enggak sabar untuk datang ke Bali, untuk itu kami menghadirkan proyek ini untuk kalian semua.

Berkolaborasi dengan seniman-seniman Bali, pada edisi pertama ini kami akan ada Kit Keliki.

Teknik berkarya yang unik dan tradisional khas Bali dikemas dalam kit ini, yang berisikan perlengkapan alat kesenian, buku panduan, dan video tutorial yang bisa diakses online.
Kami akan mengirim kit langsung ke rumahmu!

Ikuti media sosial kamu untuk update selanjutnya.

Dalam kit Keliki, kamu akan mendapatkan:

  • Yip/pena tradisional dari pohon sagu
  • Kertas watercolor
  • Pensil
  • Tinta cina
  • Palet
  • Cat air
  • Kuas
  • Bingkai

Di proyek ini kami bekerja sama dengan The Arts Development Company (ADC), yaitu kewirausahaan sosial yang berbasis di Dorset, UK. Melalui proyek ini, kami ingin masyarakat luas sadar dan berdiskusi soal hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Kemampuan orang dengan disabilitas sebenarnya tak kalah hebat kok dengan orang pada umumnya.

Gerakan Kreabilitas didukung oleh dana hibah British Council, melalui program Developing Inclusive Creative Economy (DICE). Proyek dimulai dari Maret 2019 – Maret 2020.

Di bawah nama proyek yang sama, Ketemu memperluas jangkauan proyek ini ke 3 negara ASEAN lainnya, dengan dukungan dari YSEALI Seeds for the Future Grant. Proyek ini dimulai dari Februari – Oktober 2019.

Partisipan lokakarya Gerakan Kreabilitas

Di Indonesia

  • Lokakarya dengan 30 orang pegiat kreatif
  • Inkubasi kreatif dan program bimbingan untuk 5 tim terpilih
  • Pengembangan produk atau jasa
  • Pembuatan toolkit tentang inklusivitas kolaborasi seni dan kreatif. Toolkit bisa diakses di sini

Di Inggris

  • Lokakarya pengembangan kemampuan berbisnis untuk penyandang disabilitas melalui program Culture+
  • Inkubasi kreatif dan bimbingan pengembangan produk bersama-sama dengan tim di Indonesia
  • Membuat toolkit dan panduan lainnya tentang pengalaman selama program, dengan harapan bisa membantu teman-teman lainnya yang akan membuat program serupa.
Budiarta, seniman dari Yayasan Cahaya Mutiara Ubud, sedang memegang sebuah pin hasil kolaborasi seniman Andre Williams dengan IntoArt, yaitu wirausaha sosial berbasis di Inggris
Karya Kabul dan Loster di pameran Now Is A Good Time

Di ASEAN

Dengan dukungan pendanaan dari (Young Southeast Asian Leaders Initiatives), kami memilih sepasang seniman difabel dan non-difabel dari empat negara ASEAN.

Mereka berkolaborasi untuk menciptakan suatu karya. Tiap pasang seniman tersebut dibimbing oleh seorang kurator secara daring dalam membuat kerja sama yang ramah disabilitas, sehingga mendorong terbentuknya ekonomi kreatif yang inklusif.

Hasil dari program ini adalah pameran karya, coloring kit, dan pemetaan seni dan disabilitas di Asia Tenggara.

Proyek ini didukung oleh PiNA dan Julie’s Bicycle, sebagai bagian dari program Creative Climate Leadership.

Setiap enam bulan sekali berdasarkan kalender Bali, ada hari raya Tumpek Uduh, yaitu hari dimana masyarakat Bali menyampaikan rasa syukur kepada tumbuh-tumbuhan yang telah memenuhi kebutuhan manusia. Hari ini juga sebagai pengingat bagi manusia untuk selalu kelestarian tumbuh-tumbuhan.

Ada berbagai cara yang kita lakukan dalam memaknai hari raya Tumpek Uduh, salah satunya adalah melalui seni. Karya seni diyakini sebagai penanda zaman, mengambil perannya dalam menjembatani jarak antara pemahaman bahasa lampau dengan generasi terkini (milenial) sebagai upaya pelestarian filosofi tradisi agar tidak kehilangan makna, serta kesadaran kontemporer agar tidak kehilangan akar.

Anonymous Ancestor adalah pameran tunggal dari seniman Budi Agung Kuswara yang akan menampilkan seri karya terbarunya. Dalam karya-karyanya kali ini, Budi Agung Kuswara atau yang sering dipanggil Kabul menghadirkan visual dengan menggunakan foto-foto Bali dalam rentang waktu tahun 1925-1930, sebagai cara pandang para fotografer tentang “melihat” Bali.

Foto-foto Bali kuno itu semacam arkeologi ingatan yang dibuat sesuai dengan minat para penutur visual sebagai wujud pengejawantahan ide dalam memandang budaya dan kehidupan orang Bali, yang kemudian menjadi memori kolektif dalam melihat Bali.

Upaya dan semangat yang sama dilakukan pada seri karya ini dalam membicarakan pengaruh berbagai latar belakang pemikiran orang-orang yang mengunjungi Bali dan bagaimana memori kolektif tersebut bersentuhan dengan kehidupan orang Bali sendiri. Dalam seri karya Anonymous Ancestor figure-figur ini hadir sebagai dewa-dewi leluhur yang dipuja mendatangkan kemakmuran dari masa lalunya.